Selasa, 09 Juni 2015

AYAT-AYAT DAN HADITS GADAI



MAKALAH
  HADITS GADAI
Disusun untuk memenuhi tugas
 Bidang Studi TAFSIR AYAT-AYAT dan HADIST EKONOMI SYARIAH
Pada Semester IV D



DOSEN PEMBIMBING :
Prof. Dr. M. THOHIR ARUF, M. Ag
DISUSUN OLEH :
SODIQUR RACHMAN
2013.4.057.0029.1.000000
FAKULTAS EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “AL AZHAR”
MENGANTI GRESIK
2015 -2016


KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, Tuhan pencipta dan pemelihara alam semesta alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepasa Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia hingga hari pembalasan.
Dalam melaksanakan tugas pembuatan makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan kendala yang kami hadapi, baik menyangkut soal pengaturan waktu, pengumpulan bahan-bahan, maupun sistematika penulisan makalah, dan lain sebagainya. Namun berkat semangat dan kerja keras kami disertai dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, kami penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya makalah AYAT-AYAT DAN HADITS EONOMI yang berjudul HADITS TENTANG GADAI ini dengan baik.terima kasih kemi ucapkan kepada Prof. Dr. H. M. Thohir Aruf. M. Ag, selaku dosen pemimbing yang sudah setia membimbing kami dalam menyusun makalah ini, terima kasih dan penghargaan yang sama kami sampaikan pula kepada teman-teman yang telah membantu penyelesaian makalah ini.
Meskipun makalah ini disusun untuk keperluan mahasiswa, khususnya mahasiswa jurusan Ekonomi Syariah STAI AL AZHAR Menganti Gresik, namun materi yang terkandung di dalamnya penting pula diketahui oleh mahasiswa jurusan Ekonomi Syariah yang lain dan masyarakat pada umumnya.

Menganti , 19 April 2015
                                                                                                  
Penulis
DAFTAR ISI



BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Syari’at Islam memerintahkan umatnya agar saling tolong-menolong dalam segala hal, salah satunya dapat dilakukan dengan cara pemberian atau pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur atau orang yang memberikan pinjaman agar jangan sampai ia dirugikan. Oleh sebab itu, pihak kreditur diperbolehkan meminta barang kepada debitur sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan kepadanya.
Gadai-menggadai sudah merupakan kebiasaan sejak zaman dahulu kala dan sudah dikenal dalam adat kebiasaan. Gadai sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. dan Rasulullah sendiri pun telah mempraktikkannya.
Tidak hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai juga masih berlaku hingga sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang menaungi masalah dalam gadai itu sendiri, seperti Pegadaian dan sekarang muncul pula Pegadaian Syariáh.
Di dalam Islam, pegadaian itu tidak dilarang, namun harus sesuai dengan syariát islam, seperti tidak memungut bunga dalam praktik yang dijalankan. Selanjutnya dalam makalah ini akan dijelaskan gadai menurut pandangan islam, yang meliputi pengertian gadai yang ditinjau menurut syariah islam, landasan hukum gadai, rukun dan syarat gadai, memanfaatkan barang yang sedang digadaikan, implementasi gadai dalam perbankan, riba dalam gadai, serta penyelesaian gadai.

B.     Rumusan Masalah

·         Apakah  gadai itu ?
·         Bagaimana dasar hukum gadai menurutAl-Qur’an dan Hadits?
·         Apakah rukun dan syarat Rahn?

C.    Tujuan Penulisan

·         Mengetahui tentang definisi dan pengertian gadai menurut syariah
·         Mengetahui dasar hukum gadai menurut Al-Qur’an Hadits
·         Mengetahui hukum memanfaatkan barang yang digadaikan

BAB II PEMBAHASAN

A.    Pengertian Gadai (Rahn)


Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu tetap, kekalatau penahanan.[1]
Sedangkan gadai atau Rahn menurut syariah adalah penyerahan harta benda sebagai jaminan hutang, yang hak kepemilikannya dapat diambil alih ketika sulit untuk menebusnya.[2]
Menurut ulama Syafi’iyah gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang. Sedangkan menurut ulama hanabilah gadai adalah harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi jaminan.
Dalam buku lain dijelaskan pula bahwa gadai adalah :
1.menjadikan suatu barang yang bernilai menurut syara’, sebagai jaminan atas piutang, yang memungkinkan terbayarnya hutang si peminjam kepada pihak yang memberikan pinjaman.[3]
2.Gadai dalam perspektif islam disebut dengan istilah rahn, yaitu suatu perjanjian untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn secara etimologi berarti “tetap.[4] 
3. menjadikan barang yang bernilai atau berharga sebagai jaminan atas hutang yang dibebankan sampai terbayarnya hutang tersebut.[5]




B.     Landasan Hukum Rahn

Sebagaimana halnya dengan jual-beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh dijual boleh digadaikan. Dalil yang melandasi gadai telah ditetapkan dalam Al-qur’an dan Hadits.

1.      Al-Qur’an
Ayat Al-qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 283, diantaranya adalah :

مَّقْبُوْضَةٌ فَرِهٰنٌ كَاتِبًا تَجِدُوْا لَمْ وَ سَفَرٍ عَلٰى كُنْتُم إن وَ

“jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”(QS. Al-Baqarah : 283)
Firman Allah : (سَفَرٍ عَلٰى كُنْتُم إن وَ) “Jika kamu dalam perjalanan”. Yakni, sedang melakukan perjalanan dan terjadi hutang piutang sampai batas waktu tertentu, (كَاتِبًا تَجِدُوْا لَمْ وَ) “sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis.” Yaitu seorang penulis yang menuliskan transaksi untukmu. Ibnu Abbas mengatakan: “Atau mereka mendapatkan seorang penulis, tetapi tidak mendapatkan kertas, tinta atau pena, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh pemberi pinjaman. Maksudnya, penulisan itu diganti dengan jaminan yang dipegang oleh si pemberi pinjaman.” Firman Allah Ta’ala: (مَّقْبُوْضَةٌ فَرِهٰنٌ) “Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” Ayat ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan sesuatu yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat imam syafi’i dan jumhur ulama. Dan ulama lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa barang jaminan itu harus berada ditangan orang yang memberikan gadai.[6]

Menurut ayat yang tertera diatas, bahwasannya Al-Qur’an memperbolehkan adanya hukum akad gadai, dengan mengecualikan jika adanya unsur riba yang terdapat didalamnya.

2.      Hadits
Yang menjadi landasan hukum atau dasar daripada akad Gadai (Rahn) selain Al-Qur’an ialah beberapa hadits yang menjelaskan tentang akad Gadai sebagai berikut:
a.       Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
 Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya, lalu beliau menyerahkan baju besi beliau sebagai jaminan”. (shahih muslim)[7]
b.      Dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW bersabda :
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَال
 Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).
c.       Nabi bersabda :
عن    أَبِي هُرَيْرَةَ    قَالَ    رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ    الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (shahih muslim)[8]
d.      Nabi bersabda :
عن عائشة – رضي الله عنها- قالت يا رسول الله ! ان فلانا قدم له بز من الشام فلو بعثت اليه فاخذت منه ثوبين بنسيئة الي ميسرة ؟ فارسل اليه فامتنع . اخرجه الحاكم, والبيهقي ورجاله ثقات
Dari A’isyah, iya berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya barang-barang pakaian telah datang pada si Pulan dari Syam. Seandainya baginda mengutus seseorang kepadanya, maka baginda akan mendapatkan dua potong pakaian dengan pembayaran tunda hingga mampu membayarnya.” Lalu Rasulullah mengutus seseorang kepadanya, namun pemiliknya menolak. (dikeluarkan oleh Al-Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya.


3. Ijma’
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyari’atkan pada waktu tidak epergian maupun pada waktu bepergian, berdasarkan kepada perbuatan Rasulullah Saw dalam hadits di atas.

C.    Rukun dan Syarat Rahn

Demi keabsahan suatu perjanjian gadai yang dilakukan, ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1.      Ijab Qabul (sighat)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak. Sebab, gadai merupakan perjanjian yang melibatkan harta sehingga perlu dimanifestasikan dalam bentuk pernyataan tersebut seprti halnya jual beli, karena gadai sendiri itu tak jauh berbeda dengan akad jual-beli. Seperti yang telah ditetapkan dalam kaidah fiqh:
وكل ما جاز بيعه جاز رهنه
“Setiap  sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual maka boleh digadaikan.”
            Jika ditarik kesimpulan dari kaidah diatas, maka secara tidak langsung ditemukan kesamaan hukum diantara kedua akad yang berbeda tersebut, yakni harus sama-sama menggunakan wazan sighat, yakni Ijab dan Qabul antara Rahin dan Murtahin.
2.      Orang yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu Rahin (pemberi gadai) dan Murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal sehat, dan atas keinginan sendiri.
3.      Adanya barang yang digadaikan (Marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh Rahin (pemberi gadai) adalah dapat diserahterimakan, bermanfaat, milik Rahin  secara sah, jelas, tidak bersatu dengan harta lain, dikuasai oleh Rahin, dan harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Dengan demikian barang-barang yang tidak dapat diperjual-belikan tidak dapat digadaikan.
4.      Hutang (Marhun Bih)
Menurut ulama Syafiiyah syarat sebuah hutang yang dapat dijadikan alas hak atas gadai adalah berupa hutang yang tetap dapat dimanfaatkan , hutang tersebut harus lazim pada waktu akad, hutang harus jelas dan diketahui oleh Rahin dan Murtahin.[9]

Sedangkan menurut aturan dasar pegadaian di Indonesia, barang-barang yang dapat digadaikan  di lembaga itu hanyalah berupa barang-barang bergerak (gadai dalam KUH Perdata hanyalah berbentuk barang-barang bergerak), tentunya dengan beberapa pengecualian. Pengecualian disini artinya barang yang tidak dapat digadaikan. Barang-barang tersebut antara lain:
1.      Barang milik Negara, seperti sepeda motor dinas, mesin tik kantor.
2.      Hewan yang hidup dan tanaman.
3.      Segala makanan dan benda yang mudah busuk.
4.      Barang yang karena ukurannya besar, tidak dapat disimpan dalam gadaian.
5.      Benda yang digadaikan oleh seseorang yang mabuk, atau tidak dapat memberikan keterengan-keterangan tentang barang yang digadaika.[10]


D.    Memanfaatkan Barang yang Digadaikan

Dalam memanfaatkan barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat. Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang-barang gadai tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba. Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi SAW:
و عن علي قال:قال رسول الله- صلى الله عليه وسلم – كل قرض جر منفعة فهو ربا. رواه الحارث ابن اسامة
Dari Ali, ia mengatakan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Setiap hutang (Pinjaman) yang menghasilkan manfaat adalah riba.” Hadis riwayat Harits bin Abu Usamah. [11]
Akan tetapi ada beberapa pendapat Ulama tentang boleh tidaknya memanfaatkan barang gadai, yaitu :
1). Pendapat Syafi’iyah
Menurut ulama Syafi’iyah yang mempunyai hak atas manfaat barang gadai (marhun) adalah rahin, walaupun marhun itu berada di bawah kekuasaan murtahin. Hal ini berdasarkan hadis Rasululllah saw. berikut ini :
  1. وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَال
Dari Abi Hurairah bahwa Nabi saw Bersabda: “Gadai itu tidak menutup yang punya dari manfaat  barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggung jawabkan segalanya”. (HR. Al-Hakim dan Daruqutny).
  1. Dari Umar bahwasannya Rasulullah Saw Bersabda:“Hewan sesorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya.”(HR. Bukhary).[12]
Berdasarkan hadis di atas, menurut ulama Syafi’iyah bahwa barang gadai (marhun) hanya sebagai jaminan atau kepercayaan atas penerima gadai (murtahin), sedangkan kepemilikan tetap ada pada rahin.[13]
Dengan demikian, manfaat atau dari hasil barang yang digadaikan adalah milik rahin.Pengurangan terhadap nilai atau harga dari barang gadai tidak diperbolehkan kecuali atas izin pemilik barang gadai.
2). Pendapat Malikiyah
Murtahin dapat memanfaatkan barang gadai atas izin pemilik barang dengan beberapa syarat, yaitu :
  1. Hutang disebabkan jual beli, bukan karena menghutangkan.
  2. Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun untuknya.
  3. Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak ditentukan batas waktunya, maka menjadi batal.
Pendapat Malikiyah ini berdasar kepada hadis Nabi Muhammad saw. yaitu:

عن    أَبِي هُرَيْرَةَ    قَالَ    رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ    الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.

3).  Pendapat Hanabilah
Ulama Hanabilah membagi marhun menjadi dua katagori yaitu hewan dan bukan hewan.Apabila barang gadai berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi maka boleh menjadikannya sebagai khadam.Tetapi apabila barang gadai berupa rumah, sawah kebun dan sebagainya maka tidak boleh mengambil manfaatnya.
Adapun yang menjadi landasan adalah:
Kebolehan murtahin mengambil manfaat dari barang gadai yang dapat ditunggangi adalah
hadis Rasulullah saw. :
عن    أَبِي هُرَيْرَةَ    قَالَ    رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ    الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.
Boleh murtahin memanfaatkan barang gadai atas sizin pihak rahin dan nilai manfaatnya harus disesuaikan dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk marhun didasarkan atas hadis diatas.
4). Pendapat Hanafiyah
Menurut ulama Hanafiyah, tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, alasannya adalah hadis Nabi saw.
عن    أَبِي هُرَيْرَةَ    قَالَ    رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ    الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan.
Menurut ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai sebagai barang jaminan dan kepercayaan bagi penerima gadai, maka barang gadai dikuasai oleh penerima gadai.Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai, maka berarti menghilangkan manfaat barang tersebut, padahal barang tersebut memerlukan biaya untuk pemeliharaan. Hal tersebut dapat mendatangkan mudharat bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai.
Dari keempat pendapat di atas pada dasarnya memanfaatkan barang gadai  tidak diperbolehkan karena tindakan memanfaatkan barang gadai tak ubahnya qiradh dan setiap qiradh yang mengalir manfaat adalah riba, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi SAW:
و عن علي قال:قال رسول الله- صلى الله عليه وسلم – كل قرض جر منفعة فهو ربا. رواه الحارث ابن اسامة
Dari Ali, ia mengatakan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Setiap hutang (Pinjaman) yang menghasilkan manfaat adalah riba.” Hadis riwayat Harits bin Abu Usamah.
Akan tetapi jika barang yang digadaikan itu berupa hewan ternak yang bisa diambil susunya atau ditunggangi dan pemilik barang gadai memberi izin untuk memanfaatkan barang tersebut maka penerima gadai boleh memanfaatkannya sebagai imbalan atas beban biaya pemeliharaan hewan yang dijadikan marhun tersebut.
Sedangkan menurut Imam Ahmad, Ishak, Al-Laits dan Al-Hasan berpendapat bahwa jika barang gadaiaan berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Rasulullah Saw. Bersabda:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan..[14]
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai diatas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang diperbolehkan disini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.

E.     Kegunaan Gadai

Kegunaan gadai ialah memberi kewenangan kepada penggadai melakukan penjualan barang gadaian ketika diperlukan untuk pelunasan wajib hutang pegadai. Apabila pegadai menolak melakukannya, yakni tuntutan penggadai untuk menjual barang gadaian, hakim segera menetapkan keputusan membayar hutang atau menjual barang gadaian.

F.     Ikatan Gadai, Pembatalan, dan Berakhirnya Gadai

1.      Ikatan Gadai
Gadai adalah akad yang mengandung unsur ibadah sunnah yang memerlukan qabul sehingga akad gadai tidak akan mengikat, kecuali diadakannya serah terima sama seperti hibah dan akad pinjam meminjam utang. Oleh karena itu, pegadai berhak membatalkan akad gadai sebelum serah terima barang gadaian dilakukan, sedangkan pascaserah terima barang akad gadai menjadi mengikat (wajib ditepati).
      Bagi penggadai sendiri, akad gadai tidak mengikat haknya dalam situasi apapun. Dia berhak membatalkan akad gadai kapan pun dia menghendaki, karena kebaikan gadai bagi dirinya terletak didalam serah terima barang gadaian.[15] Sebagaimana hadis yang diriwayatkan Daruquthni dan Hakim, dari Abi Hurairah bahwa Nabi saw Bersabda:

( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَال
 Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni dan Ibnu Majah).

2.      Tindak Lanjut Terhadap Barang Gadaian
Ketika akad gadai telah mengikat yang ditandai dengan serah terimahnya barang gadaian, barang gadaian yang bergerak berpindah tangan kepada pegadai untuk memastikan adanya jaminan. Kekuasaan penggadai terhadap barang gadaian tidak akan pernah hilang, kecuali memberi kewenangan pegadai untuk memanfaatkan barang yang digadaikan tersebut.[16]

3.      Berakhirnya Ikatan Akad Gadai
Ikatan  akad gadai dalam pandangan syara’ berakhir atau habis masanya dengan berbagai hal sebagai berikut.
a.       Pembatalan akad gadai dari pihak penggadai walaupun tanpa adanya restu dari pihak  pegadai, dikarenakan hak gadai adalah milik penggadai, sedangkan gadai dari jalur penggadai bersifat tidak mengikat.
b.      Adanya pelunasan semua hutang. Menurut ijma’ ulama, apabila hutang masih tersisa meski sedikit, akad gadai belum berakhir. Hal ini sama seperti hak penahanan barang yang diperjual belikan karena gadai merupakan jaminan semua bagian terkecil dari hutang.
c.       Binasa atau rusaknya barang gadaian karena akad gadai akan berakhir karena hilangnya objek akad atau tersia-sianya barang gadaian.
d.      Barang gadaian berubah menjadi barang yang tidak lagi berharga, yakni sesuatu yang tidak mubah untuk diambil kemanfaatannya. Sebagaimana contoh barang gadaian berupa perasan anggur, yang berubah menjadi arak ketika sebelum jatuh tempo pelunasan, maka akad gadai menjadi batal seketika bersamaan dengan berubahnya barang gadaian itu.

G.    Penyelesaian Gadai

Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin (penggadai) tidak mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka Marhun (barang yang digadaikan) menjadi milik murtahin (orang yang menerima gadai) sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai itu sah, tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran keduanya.[17]




A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
N
O
P
Q
R
S
T
U
V
W
X
Y
Z
A
B









BAB III PENUTUP

A.    KESIMPULAN


Dari pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa gadai atau rahn adalah perjanjian atau transaksi utang-piutang/pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai jaminan atau tanggungan utang.
Dalam islam gadai itu sendiri diperbolehkan, landasan hukum gadai terdapat pada Al-qur’an surah Al-Baqarah ayat 282-283, Hadits yang telah dipaparkan, dan ijma’. Adapun rukun dalam gadai adalah adanya ijab qabul (shighat), orang yang bertransaksi (penerima dan pemberi gadai), adanya barang yang digadaikan dan adanya hutang. Sedangkan syarat gadai adalah Orang yang menggadaikan dan yang menerima gadai, bukan orang gila dan anak-anak, orang yang berakal dan baligh (dewasa).
Para jumhur ulama berbeda pendapat tentang pemanfaatan barang yang digadaikan. Para imam madzhab selain imam hanbali melarang barag yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai meskipun mendapat izin dari rahin. Namun demikian ada sebagian ulama yang memperbolehkan barang yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai, jika barang tersebut berupa kendaraan atau binatang ternak yang dapat diambil manfaatnya dan memerlukan biaya perawatan maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari barang tersebut dan disesuaikan dengan biaya perawatannya selama barang tersebut ada padanya.
Rahn tidak hanya digunakan dalam perusahaan umum pegadaian saja, namun juga praktik rahn ini telah diterapkan atau diaplikasikan dalam perbankan syari’ah, tetapi bukan menjadi produk utama melainkan sebagai pelengkap. Salah satu manfaat yang dapat diambil pihak bank dari praktik rahn ini adalah Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang (marhun) jaminan yang dipegang oleh bank.
Dalam transaksi gadai peluang untuk terjadinya riba bisa terjadi jika rahin tidak mampu membayar utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin, maka hal tersebut termasuk riba.
Selanjutanya penyelesaian terhadap rahn, yaitu apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran keduanya.


DAFTAR PUSTAKA

Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.73-84.

Ustman bin Muhammad Syattha, hasiyyat I’anat At-thalibien ‘ala Hall Alfadz Fath al-Mu’in, (Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2007, Cet.2, Vol.3) hal.94

Hadi, Muhammad Sholihul, Pegadaian Syariah, ( Jakarta: Salemba Diniyah, 2003) hal.50

Nawawi, Muhamad Al-jawiy, Quuth Al-Habib Al-Gharib Tausyekh ‘Ala Fath el-Qarib Al-Mujieb, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002) hal.275

Abdullah bin Abdurrahman, Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2012, Cet.5, Vol.1) hal.725-726

Al-Mundziri, Ringkasan Sahih Muslim, (Bandung: Jabal, 2013, No.970, Cet.2) hal.372

Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)

Hajar, Ibnu Al-atsqalani, Bulughul Maram, (Beirut: Dar El-Fiker, 1994, No.879) hal.149.

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshary al-Qurtuby, Al-Jami Li Ahkam al-Qur’an jilid 3 ( Dar Ihya al-Tratsi al-Araby, 1985) hal.412.or.879) hal.149
As’ad, Aliy, Terjemah Fatul Mu’in, (Kudus: Menara kudus, Vol.2) hal.217-218.
Yahya, bin syarifuddin, Minhaj At-Thalibin, (Bairut-Lebanon, Dar El-Fiker, 2005) hal.115



[1]Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.73
[2]Ibid., 73
[3]Ustman bin Muhammad Syattha, hasiyyat I’anat At-thalibien ‘ala Hall Alfadz Fath al-Mu’in, (Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2007, Cet.2, Vol.3) hal.94
[4]Muhammad Sholihul Hadi, Pegadaian Syariah, ( Jakarta: Salemba Diniyah, 2003) hal.50
[5]Muhamad Nawawi Al-jawiy, Quuth Al-Habib Al-Gharib Tausyekh ‘Ala Fath el-Qarib Al-Mujieb, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002) hal. 275
[6]Abdullah bin Abdurrahman, Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2012, Cet.5, Vol.1) hal.726
[7]Al-Mundziri, Ringkasan Sahih Muslim, (Bandung: Jabal, 2013, No.970, Cet.2) hal.372
[8]Ibnu Hajar Al-atsqalani, Bulughul Maram, (Beirut: Dar El-Fiker, 1994, No.879) hal.149
[9]Muhamad Nawawi Al-jawiy, Quuth Al-Habib Al-Gharib Tausyekh ‘Ala Fath el-Qarib Al-Mujieb, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002) hal. 276. Yahya bin syarifuddin, Minhaj At-Thalibin, (Bairut-Lebanon, Dar El-Fiker, 2005) hal.115
[10]Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)
[11]  Ibnu Hajar Al-atsqalani, Bulughul Maram, (Beirut: Dar El-Fiker, 1994, No.879) hal.149
[12]Ibnu Hajar Al-atsqalani, Bulughul Maram, (Beirut: Dar El-Fiker, 1994, No.879) hal.149.
[13]Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshary al-Qurtuby, Al-Jami Li Ahkam al-Qur’an jilid 3 ( Dar Ihya al-Tratsi al-Araby, 1985) hal.412.
[14] Ibnu Hajar Al-atsqalani, Bulughul Maram, (Beirut: Dar El-Fiker, 1994, Nomor.879) hal.149
[15]Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.83-84.
[16]Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.85.
[17] Aliy As’ad, Terjemah Fatul Mu’in, (Kudus: Menara kudus, Vol.2) hal.217-218.