MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Bidang Studi TAFSIR
AYAT-AYAT dan HADIST EKONOMI SYARIAH
Pada Semester IV D
DOSEN PEMBIMBING :
Prof. Dr. M. THOHIR ARUF, M. Ag
DISUSUN OLEH :
SODIQUR RACHMAN
2013.4.057.0029.1.000000
FAKULTAS EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “AL AZHAR”
MENGANTI GRESIK
2015 -2016
KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, Tuhan pencipta dan pemelihara alam
semesta alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa Allah limpahkan kepasa Nabi
Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia
hingga hari pembalasan.
Dalam
melaksanakan tugas pembuatan makalah ini, tidak sedikit kesulitan dan kendala
yang kami hadapi, baik menyangkut soal pengaturan waktu, pengumpulan
bahan-bahan, maupun sistematika penulisan makalah, dan lain sebagainya. Namun
berkat semangat dan kerja keras kami disertai dorongan dan bantuan dari
berbagai pihak, maka segala kesulitan dan hambatan itu dapat diatasi dengan
sebaik-baiknya.
Oleh
karena itu, kami penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga dan
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah
membantu atas terselesaikannya makalah AYAT-AYAT DAN HADITS EONOMI yang
berjudul HADITS TENTANG GADAI ini dengan baik.terima kasih kemi ucapkan kepada
Prof. Dr. H. M.
Thohir Aruf. M. Ag, selaku dosen pemimbing yang sudah setia membimbing kami
dalam menyusun makalah ini, terima kasih dan penghargaan yang sama kami
sampaikan pula kepada teman-teman yang telah membantu penyelesaian makalah ini.
Meskipun
makalah ini disusun untuk keperluan mahasiswa, khususnya mahasiswa jurusan
Ekonomi Syariah STAI AL AZHAR Menganti Gresik, namun materi yang terkandung di
dalamnya penting pula diketahui oleh mahasiswa jurusan Ekonomi Syariah yang lain
dan masyarakat pada umumnya.
Menganti
, 19 April 2015
DAFTAR ISI
Daftar isiiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syari’at Islam memerintahkan umatnya
agar saling tolong-menolong dalam segala hal, salah satunya dapat dilakukan
dengan cara pemberian atau pinjaman. Dalam bentuk pinjaman hukum Islam menjaga
kepentingan kreditur atau orang yang memberikan pinjaman agar jangan sampai ia
dirugikan. Oleh sebab itu, pihak kreditur diperbolehkan meminta barang kepada
debitur sebagai jaminan atas pinjaman yang telah diberikan kepadanya.
Gadai-menggadai
sudah merupakan kebiasaan sejak zaman dahulu kala dan sudah dikenal dalam adat
kebiasaan. Gadai sendiri telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. dan Rasulullah
sendiri pun telah mempraktikkannya.
Tidak
hanya ketika zaman Rasulullah saja, tetapi gadai juga masih berlaku hingga
sekarang. Terbukti dengan banyaknya lembaga-lembaga yang menaungi masalah dalam
gadai itu sendiri, seperti Pegadaian dan sekarang muncul pula Pegadaian
Syariáh.
Di
dalam Islam, pegadaian itu tidak dilarang, namun harus sesuai dengan syariát
islam, seperti tidak memungut bunga dalam praktik yang dijalankan. Selanjutnya
dalam makalah ini akan dijelaskan gadai menurut pandangan islam, yang meliputi
pengertian gadai yang ditinjau menurut syariah islam, landasan hukum gadai,
rukun dan syarat gadai, memanfaatkan barang yang sedang digadaikan,
implementasi gadai dalam perbankan, riba dalam gadai, serta penyelesaian gadai.
B. Rumusan Masalah
·
Apakah gadai
itu ?
·
Bagaimana dasar hukum gadai menurutAl-Qur’an
dan Hadits?
·
Apakah rukun dan syarat Rahn?
C. Tujuan Penulisan
·
Mengetahui tentang definisi dan pengertian gadai menurut
syariah
·
Mengetahui dasar hukum gadai menurut Al-Qur’an Hadits
·
Mengetahui hukum memanfaatkan barang yang digadaikan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Gadai (Rahn)
Sedangkan
gadai atau Rahn menurut syariah adalah penyerahan harta benda sebagai jaminan hutang, yang hak kepemilikannya
dapat diambil alih ketika sulit untuk menebusnya.[2]
Menurut
ulama Syafi’iyah gadai adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang
dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang. Sedangkan
menurut ulama hanabilah gadai adalah harta yang dijadikan jaminan utang sebagai
pembayar harga (nilai) ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar
utangnya kepada pemberi jaminan.
Dalam buku lain dijelaskan pula bahwa gadai adalah :
1.menjadikan suatu
barang yang bernilai menurut syara’, sebagai jaminan atas piutang, yang memungkinkan
terbayarnya hutang si peminjam kepada pihak yang memberikan pinjaman.[3]
2.Gadai
dalam perspektif islam disebut dengan istilah rahn, yaitu suatu perjanjian
untuk menahan sesuatu barang sebagai jaminan atau tanggungan utang. Kata rahn
secara etimologi berarti “tetap.[4]
3. menjadikan barang
yang bernilai atau berharga sebagai jaminan atas hutang yang dibebankan sampai
terbayarnya hutang tersebut.[5]
B. Landasan Hukum Rahn
Sebagaimana
halnya dengan jual-beli, gadai diperbolehkan, karena segala sesuatu yang boleh
dijual boleh digadaikan. Dalil yang melandasi gadai telah ditetapkan dalam
Al-qur’an dan Hadits.
1.
Al-Qur’an
Ayat Al-qur’an yang dapat
dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 283,
diantaranya adalah :
مَّقْبُوْضَةٌ فَرِهٰنٌ كَاتِبًا تَجِدُوْا لَمْ وَ سَفَرٍ عَلٰى كُنْتُم إن وَ
“jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”(QS.
Al-Baqarah : 283)
Firman
Allah : (سَفَرٍ
عَلٰى كُنْتُم إن وَ) “Jika kamu dalam perjalanan”. Yakni,
sedang melakukan perjalanan dan terjadi hutang piutang sampai batas waktu
tertentu, (كَاتِبًا تَجِدُوْا لَمْ وَ) “sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis.” Yaitu seorang penulis yang
menuliskan transaksi untukmu. Ibnu Abbas mengatakan: “Atau mereka mendapatkan
seorang penulis, tetapi tidak mendapatkan kertas, tinta atau pena, maka
hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh pemberi pinjaman. Maksudnya, penulisan
itu diganti dengan jaminan yang dipegang oleh si pemberi pinjaman.” Firman
Allah Ta’ala: (مَّقْبُوْضَةٌ فَرِهٰنٌ) “Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” Ayat
ini dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan harus merupakan
sesuatu yang dapat dipegang. Sebagaimana yang menjadi pendapat imam syafi’i dan
jumhur ulama. Dan ulama lain menjadikan ayat tersebut sebagai dalil bahwa
barang jaminan itu harus berada ditangan orang yang memberikan gadai.[6]
Menurut
ayat yang tertera diatas, bahwasannya Al-Qur’an memperbolehkan adanya hukum
akad gadai, dengan mengecualikan jika adanya unsur riba yang terdapat
didalamnya.
2.
Hadits
Yang menjadi landasan hukum atau dasar daripada akad
Gadai (Rahn) selain Al-Qur’an ialah beberapa hadits yang menjelaskan tentang
akad Gadai sebagai berikut:
a.
Hadis riwayat
Aisyah ra., ia berkata:
عَنْ عَائِشَةَ
قَالَتْ اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ
يَهُودِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari
seorang Yahudi dengan cara menangguhkan pembayarannya, lalu beliau menyerahkan
baju besi beliau sebagai jaminan”. (shahih muslim)[7]
b.
Dari Abu
Hurairah ra. Nabi SAW bersabda :
وَعَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لَا يَغْلَقُ
اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ
اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَال
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai
dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung
resikonya.” (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni
dan Ibnu Majah).
c.
Nabi bersabda :
عن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا,
وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Tunggangan
(kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan
binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya.
Bagi yang menggunakan kendaraan
dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”. (shahih muslim)[8]
d.
Nabi bersabda :
عن عائشة – رضي
الله عنها- قالت يا رسول الله ! ان فلانا قدم له بز من الشام فلو بعثت اليه فاخذت
منه ثوبين بنسيئة الي ميسرة ؟ فارسل اليه فامتنع . اخرجه الحاكم, والبيهقي ورجاله
ثقات
Dari A’isyah, iya berkata: Aku berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya barang-barang pakaian telah datang pada si
Pulan dari Syam. Seandainya baginda mengutus seseorang kepadanya, maka baginda
akan mendapatkan dua potong pakaian dengan pembayaran tunda hingga mampu
membayarnya.” Lalu Rasulullah mengutus seseorang kepadanya, namun pemiliknya
menolak. (dikeluarkan oleh Al-Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang
dapat dipercaya.
3. Ijma’
Berkaitan
dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan
mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama
berpendapat bahwa disyari’atkan pada waktu tidak epergian maupun pada waktu
bepergian, berdasarkan kepada perbuatan Rasulullah Saw dalam hadits di atas.
C. Rukun dan Syarat Rahn
Demi keabsahan suatu
perjanjian gadai yang dilakukan, ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi
yaitu:
1.
Ijab Qabul (sighat)
Hal ini dapat
dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak. Sebab, gadai
merupakan perjanjian yang melibatkan harta sehingga perlu dimanifestasikan
dalam bentuk pernyataan tersebut seprti halnya jual beli, karena gadai sendiri
itu tak jauh berbeda dengan akad jual-beli. Seperti yang telah ditetapkan dalam
kaidah fiqh:
وكل ما جاز بيعه جاز رهنه
“Setiap sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual maka
boleh digadaikan.”
Jika
ditarik kesimpulan dari kaidah diatas, maka secara tidak langsung ditemukan
kesamaan hukum diantara kedua akad yang berbeda tersebut, yakni harus sama-sama
menggunakan wazan sighat, yakni Ijab dan Qabul antara Rahin dan Murtahin.
2.
Orang yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi
bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu Rahin (pemberi gadai) dan
Murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal sehat, dan atas keinginan sendiri.
3.
Adanya barang
yang digadaikan (Marhun)
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh Rahin
(pemberi gadai) adalah dapat diserahterimakan, bermanfaat, milik Rahin secara
sah, jelas, tidak bersatu dengan harta lain, dikuasai oleh Rahin, dan
harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Dengan demikian barang-barang yang
tidak dapat diperjual-belikan tidak dapat digadaikan.
4.
Hutang (Marhun Bih)
Menurut ulama Syafiiyah syarat
sebuah hutang yang dapat dijadikan alas hak atas gadai adalah berupa hutang
yang tetap dapat dimanfaatkan , hutang tersebut harus lazim pada waktu akad,
hutang harus jelas dan diketahui oleh Rahin dan Murtahin.[9]
Sedangkan menurut aturan dasar pegadaian di Indonesia, barang-barang yang
dapat digadaikan di lembaga itu hanyalah berupa barang-barang bergerak
(gadai dalam KUH Perdata hanyalah berbentuk barang-barang bergerak), tentunya
dengan beberapa pengecualian. Pengecualian disini artinya barang yang tidak
dapat digadaikan. Barang-barang tersebut antara lain:
1.
Barang milik
Negara, seperti sepeda motor dinas, mesin tik kantor.
2. Hewan yang hidup dan tanaman.
3. Segala makanan dan benda yang mudah busuk.
4. Barang yang karena ukurannya besar, tidak dapat disimpan
dalam gadaian.
5. Benda yang digadaikan oleh seseorang yang mabuk, atau
tidak dapat memberikan keterengan-keterangan tentang barang
yang digadaika.[10]
D. Memanfaatkan Barang yang Digadaikan
Dalam
memanfaatkan barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat. Jumhur Fuqaha
berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat barang-barang
gadai tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk
kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk
riba. Sebagaimana yang telah
disabdakan oleh Nabi SAW:
و عن علي قال:قال رسول الله- صلى الله عليه وسلم – كل قرض
جر منفعة فهو ربا. رواه الحارث ابن اسامة
Dari
Ali, ia mengatakan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Setiap hutang (Pinjaman)
yang menghasilkan manfaat adalah riba.” Hadis riwayat Harits bin Abu
Usamah. [11]
Akan tetapi ada beberapa pendapat Ulama tentang boleh tidaknya memanfaatkan
barang gadai, yaitu :
1). Pendapat Syafi’iyah
Menurut ulama Syafi’iyah
yang mempunyai hak atas manfaat barang gadai (marhun) adalah rahin, walaupun
marhun itu berada di bawah kekuasaan murtahin. Hal ini berdasarkan hadis
Rasululllah saw. berikut ini :
- وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ -صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( لَا يَغْلَقُ اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَال
Dari Abi Hurairah bahwa Nabi
saw Bersabda: “Gadai itu tidak menutup yang punya dari manfaat barang
itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggung jawabkan segalanya”.
(HR. Al-Hakim dan Daruqutny).
- Dari Umar bahwasannya Rasulullah Saw Bersabda:“Hewan sesorang tidak boleh diperah tanpa seizin pemiliknya.”(HR. Bukhary).[12]
Berdasarkan hadis di atas, menurut ulama Syafi’iyah bahwa barang gadai
(marhun) hanya sebagai jaminan atau kepercayaan atas penerima gadai (murtahin),
sedangkan kepemilikan tetap ada pada rahin.[13]
Dengan demikian, manfaat atau dari hasil barang yang digadaikan adalah
milik rahin.Pengurangan terhadap nilai atau harga dari barang gadai tidak
diperbolehkan kecuali atas izin pemilik barang gadai.
2). Pendapat Malikiyah
Murtahin dapat
memanfaatkan barang gadai atas izin pemilik barang dengan beberapa syarat,
yaitu :
- Hutang disebabkan jual beli, bukan karena menghutangkan.
- Pihak murtahin mensyaratkan bahwa manfaat dari marhun untuknya.
- Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan, apabila tidak ditentukan batas waktunya, maka menjadi batal.
Pendapat Malikiyah ini
berdasar kepada hadis Nabi Muhammad saw. yaitu:
عن
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الظَّهْرُ يُرْكَبُ
بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki
dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah
susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib
menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”.
3). Pendapat Hanabilah
Ulama Hanabilah membagi
marhun menjadi dua katagori yaitu hewan dan bukan hewan.Apabila barang gadai
berupa hewan yang tidak dapat diperah dan tidak dapat ditunggangi maka boleh
menjadikannya sebagai khadam.Tetapi apabila barang gadai berupa rumah, sawah
kebun dan sebagainya maka tidak boleh mengambil manfaatnya.
Adapun yang menjadi
landasan adalah:
Kebolehan murtahin mengambil manfaat dari
barang gadai yang dapat ditunggangi adalah
hadis Rasulullah saw. :
عن
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الظَّهْرُ يُرْكَبُ
بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki
dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah
susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib
menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”.
Boleh
murtahin memanfaatkan barang gadai atas sizin pihak rahin dan nilai manfaatnya
harus disesuaikan dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk marhun didasarkan
atas hadis diatas.
4). Pendapat Hanafiyah
Menurut
ulama Hanafiyah, tidak ada perbedaan antara pemanfaatan barang gadai yang
mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, alasannya adalah hadis Nabi saw.
عن
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الظَّهْرُ يُرْكَبُ
بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Tunggangan
(kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan
binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung
biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan
dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”.
Menurut
ulama Hanafiyah, sesuai dengan fungsi dari barang gadai sebagai barang jaminan
dan kepercayaan bagi penerima gadai, maka barang gadai dikuasai oleh penerima
gadai.Apabila barang tersebut tidak dimanfaatkan oleh penerima gadai, maka
berarti menghilangkan manfaat barang tersebut, padahal barang tersebut memerlukan
biaya untuk pemeliharaan. Hal tersebut dapat mendatangkan
mudharat bagi kedua belah pihak, terutama bagi pemberi gadai.
Dari keempat pendapat di
atas pada dasarnya memanfaatkan barang gadai tidak diperbolehkan karena
tindakan memanfaatkan barang gadai tak ubahnya qiradh dan setiap qiradh
yang mengalir manfaat adalah riba,
sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi SAW:
و عن علي قال:قال رسول الله- صلى الله عليه وسلم – كل قرض
جر منفعة فهو ربا. رواه الحارث ابن اسامة
Dari
Ali, ia mengatakan bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Setiap hutang (Pinjaman)
yang menghasilkan manfaat adalah riba.” Hadis riwayat Harits bin Abu Usamah.
Akan
tetapi jika barang yang digadaikan itu berupa hewan ternak yang bisa diambil
susunya atau ditunggangi dan pemilik barang gadai memberi izin untuk
memanfaatkan barang tersebut maka penerima gadai boleh memanfaatkannya sebagai
imbalan atas beban biaya pemeliharaan hewan yang dijadikan marhun tersebut.
Sedangkan
menurut Imam Ahmad, Ishak, Al-Laits dan Al-Hasan berpendapat bahwa jika barang
gadaiaan berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang
dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua
benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya
selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya.
Rasulullah
Saw. Bersabda:
الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا
كَانَ مَرْهُونًا, وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا, وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki
dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah
susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib
menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”..[14]
Pengambilan
manfaat pada benda-benda gadai diatas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk
pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti di atas
punya kewajiban tambahan. Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan
bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang
barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang diperbolehkan disini adalah adanya
upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
E. Kegunaan Gadai
Kegunaan gadai
ialah memberi kewenangan kepada penggadai melakukan penjualan barang gadaian
ketika diperlukan untuk pelunasan wajib hutang pegadai. Apabila pegadai menolak
melakukannya, yakni tuntutan penggadai untuk menjual barang gadaian, hakim
segera menetapkan keputusan membayar hutang atau menjual barang gadaian.
F. Ikatan Gadai, Pembatalan, dan Berakhirnya Gadai
1. Ikatan Gadai
Gadai adalah
akad yang mengandung unsur ibadah sunnah yang memerlukan qabul sehingga akad
gadai tidak akan mengikat, kecuali diadakannya serah terima sama seperti hibah
dan akad pinjam meminjam utang. Oleh karena itu, pegadai berhak membatalkan
akad gadai sebelum serah terima barang gadaian dilakukan, sedangkan pascaserah
terima barang akad gadai menjadi mengikat (wajib ditepati).
Bagi penggadai sendiri, akad gadai tidak
mengikat haknya dalam situasi apapun. Dia berhak membatalkan akad gadai kapan
pun dia menghendaki, karena kebaikan gadai bagi dirinya terletak didalam serah
terima barang gadaian.[15] Sebagaimana
hadis yang diriwayatkan Daruquthni dan Hakim, dari Abi Hurairah bahwa Nabi saw Bersabda:
( لَا يَغْلَقُ
اَلرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ اَلَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ, وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ
) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَالْحَاكِمُ, وَرِجَالهُ ثِقَاتٌ. إِلَّا أَنَّ
اَلْمَحْفُوظَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ إِرْسَال
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai
dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.” (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni
dan Ibnu Majah).
2.
Tindak Lanjut
Terhadap Barang Gadaian
Ketika akad
gadai telah mengikat yang ditandai dengan serah terimahnya barang gadaian,
barang gadaian yang bergerak berpindah tangan kepada pegadai untuk memastikan
adanya jaminan. Kekuasaan penggadai terhadap barang gadaian tidak akan pernah
hilang, kecuali memberi kewenangan pegadai untuk memanfaatkan barang yang
digadaikan tersebut.[16]
3.
Berakhirnya
Ikatan Akad Gadai
Ikatan akad gadai dalam pandangan syara’ berakhir
atau habis masanya dengan berbagai hal sebagai berikut.
a.
Pembatalan akad
gadai dari pihak penggadai walaupun tanpa adanya restu dari pihak pegadai, dikarenakan hak gadai adalah milik
penggadai, sedangkan gadai dari jalur penggadai bersifat tidak mengikat.
b.
Adanya
pelunasan semua hutang. Menurut ijma’ ulama, apabila hutang masih tersisa meski
sedikit, akad gadai belum berakhir. Hal ini sama seperti hak penahanan barang
yang diperjual belikan karena gadai merupakan jaminan semua bagian terkecil
dari hutang.
c.
Binasa atau
rusaknya barang gadaian karena akad gadai akan berakhir karena hilangnya objek
akad atau tersia-sianya barang gadaian.
d.
Barang gadaian
berubah menjadi barang yang tidak lagi berharga, yakni sesuatu yang tidak mubah
untuk diambil kemanfaatannya. Sebagaimana contoh barang gadaian berupa perasan
anggur, yang berubah menjadi arak ketika sebelum jatuh tempo pelunasan, maka
akad gadai menjadi batal seketika bersamaan dengan berubahnya barang gadaian
itu.
G. Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga
supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan
syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin (penggadai)
tidak mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka Marhun
(barang yang digadaikan) menjadi milik murtahin (orang yang menerima
gadai) sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran
yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil
daripada utang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak
murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu
pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang
harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin.
Apabila
syarat seperti di atas diadakan dalam akad gadai, maka akad gadai itu sah,
tetapi syarat-syaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan.
Apabila
pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum dapat membayar
utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin
sendiri atau yang lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada
waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah
sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih
besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila
sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin
masih menanggung pembayaran keduanya.[17]
A
|
B
|
C
|
D
|
E
|
F
|
G
|
H
|
I
|
J
|
K
|
L
|
M
|
N
|
O
|
P
|
Q
|
R
|
S
|
T
|
U
|
V
|
W
|
X
|
Y
|
Z
|
A
|
B
|
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa gadai atau rahn adalah
perjanjian atau transaksi utang-piutang/pinjam-meminjam dengan menyerahkan
barang sebagai jaminan atau tanggungan utang.
Dalam
islam gadai itu sendiri diperbolehkan, landasan hukum gadai terdapat pada Al-qur’an
surah Al-Baqarah ayat 282-283, Hadits yang telah dipaparkan, dan ijma’. Adapun
rukun dalam gadai adalah adanya ijab qabul (shighat), orang yang bertransaksi
(penerima dan pemberi gadai), adanya barang yang digadaikan dan adanya hutang. Sedangkan syarat gadai adalah Orang yang menggadaikan dan
yang menerima gadai, bukan orang gila dan anak-anak, orang yang berakal dan
baligh (dewasa).
Para
jumhur ulama berbeda pendapat tentang pemanfaatan barang yang digadaikan. Para
imam madzhab selain imam hanbali melarang barag yang digadaikan digunakan oleh
penerima gadai meskipun mendapat izin dari rahin. Namun demikian ada sebagian
ulama yang memperbolehkan barang yang digadaikan digunakan oleh penerima gadai,
jika barang tersebut berupa kendaraan atau binatang ternak yang dapat diambil
manfaatnya dan memerlukan biaya perawatan maka penerima gadai dapat mengambil
manfaat dari barang tersebut dan disesuaikan dengan biaya perawatannya selama
barang tersebut ada padanya.
Rahn
tidak hanya digunakan dalam perusahaan umum pegadaian saja, namun juga praktik
rahn ini telah diterapkan atau diaplikasikan dalam perbankan syari’ah, tetapi
bukan menjadi produk utama melainkan sebagai pelengkap. Salah satu manfaat yang
dapat diambil pihak bank dari praktik rahn ini adalah Memberikan keamanan bagi
semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu
saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu asset atau barang
(marhun) jaminan yang dipegang oleh bank.
Dalam
transaksi gadai peluang untuk terjadinya riba bisa terjadi jika rahin tidak
mampu membayar utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, kemudian murtahin
menjual marhun dengan tidak memberikan kelebihan harga marhun kepada rahin,
maka hal tersebut termasuk riba.
Selanjutanya
penyelesaian terhadap rahn, yaitu apabila pada waktu pembayaran yang telah
ditentukan rahin belum dapat membayar utangnya, hak murtahin adalah
menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang
lainnya, tetapi dengan harga yang umum yang berlaku pada waktu itu dari
penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar
piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar
dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila
sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin
masih menanggung pembayaran keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah
Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.73-84.
Ustman bin
Muhammad Syattha, hasiyyat I’anat At-thalibien
‘ala Hall Alfadz Fath al-Mu’in, (Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2007,
Cet.2, Vol.3) hal.94
Hadi, Muhammad Sholihul, Pegadaian Syariah, (
Jakarta: Salemba Diniyah,
2003) hal.50
Nawawi, Muhamad
Al-jawiy, Quuth Al-Habib Al-Gharib
Tausyekh ‘Ala Fath el-Qarib Al-Mujieb, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah,
2002) hal.275
Abdullah bin Abdurrahman, Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka
Imam Syafi’i, 2012, Cet.5, Vol.1) hal.725-726
Al-Mundziri, Ringkasan Sahih Muslim, (Bandung: Jabal,
2013, No.970, Cet.2) hal.372
Suhrawardi K. Lubis, Hukum
Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)
Hajar, Ibnu Al-atsqalani, Bulughul Maram, (Beirut: Dar El-Fiker,
1994, No.879) hal.149.
Abu Abdillah Muhammad bin
Ahmad Al-Anshary al-Qurtuby, Al-Jami Li Ahkam al-Qur’an jilid 3 ( Dar
Ihya al-Tratsi al-Araby, 1985) hal.412.or.879) hal.149
As’ad, Aliy, Terjemah Fatul Mu’in, (Kudus: Menara kudus, Vol.2) hal.217-218.
Yahya,
bin syarifuddin, Minhaj At-Thalibin, (Bairut-Lebanon,
Dar El-Fiker, 2005) hal.115
[1]Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah
Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.73
[3]Ustman bin Muhammad Syattha, hasiyyat I’anat At-thalibien ‘ala Hall
Alfadz Fath al-Mu’in, (Beirut: Dar Al-kutub Al-Ilmiyah, 2007, Cet.2, Vol.3)
hal.94
[5]Muhamad Nawawi Al-jawiy, Quuth Al-Habib Al-Gharib Tausyekh ‘Ala Fath
el-Qarib Al-Mujieb, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002) hal. 275
[6]Abdullah bin Abdurrahman, Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka
Imam Syafi’i, 2012, Cet.5, Vol.1) hal.726
[7]Al-Mundziri, Ringkasan Sahih Muslim, (Bandung: Jabal, 2013, No.970, Cet.2)
hal.372
[8]Ibnu Hajar Al-atsqalani, Bulughul Maram, (Beirut: Dar El-Fiker,
1994, No.879) hal.149
[9]Muhamad Nawawi Al-jawiy, Quuth Al-Habib Al-Gharib Tausyekh ‘Ala Fath
el-Qarib Al-Mujieb, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002) hal. 276. Yahya
bin syarifuddin, Minhaj At-Thalibin, (Bairut-Lebanon,
Dar El-Fiker, 2005) hal.115
[10]Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi
Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)
[12]Ibnu Hajar Al-atsqalani, Bulughul Maram, (Beirut: Dar El-Fiker,
1994, No.879) hal.149.
[13]Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshary al-Qurtuby, Al-Jami Li Ahkam
al-Qur’an jilid 3 ( Dar Ihya al-Tratsi al-Araby, 1985) hal.412.
[14]
Ibnu Hajar Al-atsqalani, Bulughul Maram, (Beirut: Dar El-Fiker,
1994, Nomor.879) hal.149
[15]Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah
Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2)
hal.83-84.
[16]Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah
Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.85.